Roy Suryo Itu Pakar Apa Saja?
Kanjeng Raden Mas Tumenggung Roy Suryo Notodiprojo atau disingkat KRMT Roy Suryo Notodiprojo atau lebih dikenal sebagai Roy Suryo (lahir di Yogyakarta, 18 Juli 1968; umur 44 tahun) adalah Menteri Pemuda dan Olahraga yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, yang juga seorang pengurus Partai Demokrat di bidang Komunikasi dan Informatika. Roy sering menjadi narasumber di berbagai media massa Indonesia untuk bidang teknologi informasi, fotografi, dan multimedia. Roy juga pernah menjadi pembawa acara e-Lifestyle di Metro TV selama lima tahun. Oleh media massa Indonesia ia sering dijuluki sebagai pakar informatika, multimedia, dan telematika.
Roy Suryo menyelesaikan kuliah pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (1991-2001), kemudian mengajar di Jurusan Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia tahun 1994-2004. Ia juga pernah tercatat sebagai pengajar tamu di Program D-3 Komunikasi UGM, mengajar fotografi untuk beberapa semester namun tidak berstatus sebagai dosen tetap UGM.
Roy Suryo menyelesaikan kuliah pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (1991-2001), kemudian mengajar di Jurusan Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia tahun 1994-2004. Ia juga pernah tercatat sebagai pengajar tamu di Program D-3 Komunikasi UGM, mengajar fotografi untuk beberapa semester namun tidak berstatus sebagai dosen tetap UGM.
Roy Suryo sering meraih penghargaan dari lomba fotografi tingkat nasional serta penghargaan dari berbagai pihak, di antaranya dari Kadin bidang Telematika, Menteri Perhubungan Agum Gumelar, Majalah Trend Digital, Telkomsel, dan Garuda Indonesia. Selain di bidang Telematika, ia juga ikut dalam kepengurusan Perhimpunan Penggemar Mobil Kuno Indonesia, Federasi Perkumpulan Seni Foto Indonesia, juga tercatat sebagai salah satu konsultan teknis di situs resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terakhir Ia tercatat sebagai ketua departemen komunikasi dan informasi di Partai Demokrat dan penanggung jawab redaksi di situs resmi Partai Demokrat. Pada tanggal 15 Januari 2013 Roy Suryo resmi ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga pengganti Andi Mallarangeng yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas keterlibatannya dalam kasus Korupsi Hambalang.
Ternyata
pula si Roy ini bukan hanya pakar Telematika, tetapi juga pakar soal
penerbangan. Setidaknya menyangkut analisa penyebab jatuhnya pesawat. Seolah sudah merupakan suatu tradisi atau “trade mark”-nya,
dalam setiap analisanya selalu saja hal-hal menyangkut asli atau
palsunya sesuatu tidak pernah absen. Demikian pula dengan kedatangannya
di Bandara Halim kali ini, yang sejak Rabu, 9 Mei 2012 itu menjadi sibuk
luar biasa karena ada pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh. Apakah analisa sang pakar kali ini?
Yang
pasti bukan mengenai apakah peristiwa jatuhnya pesawat asal Rusia itu
asli atau palsu. Tetapi yang dia analisa kali ini adalah soal foto-foto
yang diberi keterangan sebagai foto-foto para korban Sukhoi Superjet 100
itu, yang beredar via BlackBerry Messenger (BBM) dan jejaring sosial.
Kepala
Badan SAR Nasional, Marsekal Madya TNI Daryatmo, menegaskan bahwa
foto-foto tersebut palsu.Bukan foto-foto dari lokasi jatuhnya Sukhoi
Superjet 100, apalagi foto para korbannya. Untuk memastikan kebenaran
pernyataannya itu, kata Daryatmo, dia telah meminta bantuan jasa ahli
IT, yakni Roy Suryo.
Nah,
disinilah si Roy kembali menunjukkan kepakarannya dengan ciri khasnya
itu, dengan sangat cepat Roy memberi kesimpulan bahwa foto-foto itu
palsu. Seratus persen, semuanya palsu. Katanya, itu semua foto-foto
korban kecelakaan pesawat Air India di Pakistan pada 2010.
Setelah
saya mencari informasi dengan memanfaatkan Google, ternyata memang
benar ada pesawat penumpang yang jatuh di Pakistan pada Juli 2010,
tetapi bukan Air India, melainkan pesawat milik maskapai penerbangan
swasta setempat, Airblue. Jenis pesawat itu adalah Airbus, menabrak
sebuah bukit di Islamabad dalam penerbangan dari Karachi, Pakistan. Saat
itu 152 penumpangnya tewas.
Sedangkan
lokasi jatuhnya pesawat penumpang Air India Express bukan di Pakistan,
melainkan di Kota Mangalore, di Negara Bagian Karnataka, India Selatan.
Pada mei 2010, pesawat itu berangkat dari Dubai, dan jatuh di dekat
bandara di Mangalore, menewaskan sedikitnya 160 orang.
Keterangan Roy bahwa semua foto itu palsu, berbeda
dengan keterangan dari Kominfo, yang melalui Sekjen-nya Gatot S.
Dewabroto, di Metro TV, Senin, 14 Mei 2012, mengatakan bahwa dari semua
foto yang beredar itu ada satu yang benar asli, sedangkan sisanya palsu.
Apakah
Roy Suryo, yang anggota DPR dari Komisi I itu benar-benar seorang yang
layak disebut pakar IT, atau pakar Telematika? Dan, yang terbaru pakar
penerbangan? Jujur, saya sendiri tidak tahu. Tetapi, dari membaca
berbagai informasi, sepengetahuan saya mayoritas orang di media sangat
meragukan kepakaran seorang Roy Suryo. Bahkan tidak sedikit pula yang
menyatakan bahwa Roy sesungguhnya bukan seorang pakar, alias cuma
pakar-pakaran Telematika. Dia lebih cenderung sering berupaya
menonjolkan dirinya sendiri di momen-momen tertentu supaya terlihat
“kepakarannya” itu. Padahal analisa-analisanya itu sering terlalu
standar. Mirip dengan analisa orang awam saja.
Lepas dari benar-tidaknya penilaian tersebut, tentang ketidakbenaran foto-foto “korban jatuhnya Sukhoi Superjet 100”, yang beredar via BBM dan jejaring sosial itu, apakah memang diperlukan seorang pakar IT untuk menjelaskannya?
Sepengetahuan
saya, dalam suatu kasus tertentu, suatu foto tertentu memerlukan
seorang pakar untuk menganalisanya apabila foto tersebut tidak dapat
dipastikan tentang di mana sebenarnya lokasi foto itu diambil, kapan
pengambilan gambar tersebut, peristiwa apa yang sebenarnya terjadi yang
direkam foto tersebut, dan siapa-siapa saja sebenarnya yang ada di foto
itu.
Pada kasus foto-foto “korban Sukhoi Superjet 100” tersebut, bukankah semua yang disinggung di atas itu sudah jelas? Seharusnya
tim SAR gabungan Marinir, dan Kopassus yang paling tahu apakah
foto-foto tersebut asli atau palsu. Karena merekalah yang telah sampai
di lokasi kejadian. Mereka yang satu-satunya pihak yang paling tahu
bagaimana lokasi, kondisi, dan keadaan para korban tewas di sana.
Merekalah yang bekerja ekstra keras di lokasi yang sangat sulit itu
bolak-balik mengevakuasi korban dan benda-benad penting lainnya. Maka,
seharusnya merekalah yang paling berkompeten dan yang paling layak
dipercaya untuk memberi penjelasan bahwa foto-foto itu palsu, karena
kondisi di lokasi tidak seperti di foto-foto itu. Bilamana perlu
menunjukkan foto-foto tertentu yang pasti telah mereka ambil sebagai
dokumentasi, untuk membandingkannya dengan foto-foto yang beredar di BBM
dan jejaring sosial itu. Sama sekali tidak diperlukan seorang pakar IT,
apalagi seorang Roy Suryo yang sama sekali tidak pernah melihat lokasi
sebenarnya.
Setelah
cukup menganalisa tentang palsunya foto-foto “korban Sukhoi Superjet
100” itu, Roy Suryo pun menunjukkan kepakarannya yang lain. Yakni,
menganalisa tentang kemungkinan penyebab jatuhnya pesawat itu. Kenapa
sampai pilot kehilangan kontak dengan menawar pengawas, kenapa sampai
pesawat tiba-tiba hilang dari radar, dan kenapa pula ketika pesawat
sudah jatuh signal tanda bahayanya tidak berfungsi. Dari sini, saya baru
tahu bahwa ternyata selain pakar Telematika, Roy Suryo juga pakar soal
masalah-masalah penerbangan?
Roy Suryo membantah bahwa signal ponsel dapat membahayakan suatu penerbangan. Termasuk dalam kasus Sukhoi Superjet 100 yang menabrak Gunung Salak itu. Katanya, signal ponsel tidak punya pengaruh terhadap keselamatan penerbangan. Sedangkan, pilot senior Garuda Jeffrey Adrian malah mengatakan sebaliknya. Di Jawa Pos, Senin, 14/05/2012, Jeffrey mengatakan bahwa selain gelombang radio-radio liar, percakapan via ponsel pun sering bocor nyelonong masuk ke alat komunikasi pilot. Yang paling mengerikan, kata Jeffrey, pengalamannya beberapakali mengalami kehilangan signal sama sekali alias blind spot ketika sedang membawa pesawat.
Karena
itu, nasihat Jeffrey, adalah sangat penting bagi penumpang agar
mematuhi peraturan untuk mematikan alat-alat elektronis (termasuk
ponsel), selama penerbangan. Terutama sekali pada saat pesawat hendak
lepas landas dan mendarat. Sebab saat itu adalah saat yang paling
krusial bagi pilot.
Anda mau percaya Roy Suryo atau Jeffrey Adrian?
Kalau
memang benar analisa Roy bahwa signal ponsel tidak mempengaruhi
keselamatan penerbangan, lalu kenapa asosiasi penerbangan dunia telah
menerapkan aturan larangan menggunakan ponsel dan alat elektronik
lainnya selama penerbangan?
Hasil
analisis Roy berikutnya mengatakan bahwa inisiatif dan tindakan pilot
Sukhoi Superjet 100 untuk menurunkan ketinggian dari 10.000 kaki ke
6.000 kaki adalah tindakan yang sangat fatal kesalahannya. “Meskipun,
secara resmi tetap harus menunggu KNKT, tetapi analisa saya menunjukkan inisiatif berani turun dari 10.000
kaki ke 6.000 kaki, bahkan ketika Sukhoi masa pada kecepatan sekitar
400 kilometer per jam adalah (kesalahan) sangat fatal”, jelas Roy.
Padahal menurut Jeffrey Adrian, inisiatif penurunan ketinggian seperti itu dari seorang pilot masih merupakan hal yang wajar. Asalkan secara visual sang pilot dapat memastikan keamanan pesawatnya dan dia menguasai medan tersebut. Sedangkan, Ketua Federasi Pilot Indonesia, Hasfrinsyah, mengatakan permintaan penurunan dari 10.000 kaki ke 6.000 kaki itu sebenarnya juga sah-sah saja, asalkan memenuhi beberapa persyaratan yang sangat penting. Salah satunya adanya kesamaan pandangan/penglihatan pilot dengan petugas ATC (menara Pengawas). Untuk memastikan semua itu terpenuhi ataukah tidak harus menunggu penyelidikan lebih lanjut dari KNKT.
Sedangkan
mengenai berita yang sempat tersebar bahwa ditemukan jenazah pilot
Sukhoi dengan sebuah parasut yang tergantung di pepohonan, dengan penuh
semangat dianalisis pula oleh Roy. Roy mengatakan bahwa dia telah
bertanya kepada pihak pabrikan pesawat komersial Sukhoi langsung ke
Rusia, apakah pesawat komersial buatan mereka itu dilengkapi dengan
kursi pelontar (ejection seat), sebagaimana ada di
pesawat-pesawat tempur? Dijawab oleh pihak pabrik Sukhoi bahwa pesawat
komersial buatan mereka itu tidak ada, dan tidak pernah dilengkapi
dengan kursi pelontar berparasut seperti di pesawat tempur itu. Jadi,
menurut Roy, mustahil pilot itu bisa keluar dengan menggunakan kursi
pelontar berparasut.
Apakah
Roy serius dengan keterangannya ini? Bahwa dia telah bertanya ke pabrik
pesawat Sukhoi Superjet 100 itu bahwa apakah pesawat itu dilengkapi
dengan kursi pelontar? Kalau memang benar Roy telah bertanya seperti
itu, saya yakin pertanyaan tersebut pasti sudah membuat pihak pabrik
Sukhoi itu terkejut dan kemudian tertawa terpingkal-pingkal. Karena
mereka baru pertamakali mendengar pertanyaan yang begitu bodoh. Apalagi
kalau tahu yang bertanya itu seorang pakar.
Orang
awam, bahkan anak kecil pun tahu, bahwa sejak ditemukan pesawat
terbang. sampai detik ini, tidak pernah ada pesawat komersial yang
dilengkapi dengan kursi pelontar berparasut sebagaimana biasa ada di
pesawat tempur.
Dengan
analisa-analisanya seperti ini, tidak heran kalau sang pakar ini pernah
salah naik pesawat (Lion Air), pada 26 Maret 2011. Tetapi berdasarkan
analisanya pada waktu itu, dia mengatakan, dia tidak
salah. Yang salah adalah Lion Air yang telah salah dalam melakukan
penomoran tempat duduk yang menyebabkan terjadinya kursi ganda (double seat)
pada penerbangan Lion Air Yogyakarta-Jakarta, yang pernah bikin heboh
di Twitter dan internet itu. Menurut Lion Air, Roy memang salah naik
pesawat. Seharusnya, penerbangan jam berikutnya, tetapi dia telah naik
di pesawat yang jadwal terbangnya lebih awal.
Saya
sendiri waktu membaca berita di detik.com/detik.foto tentang kunjungan
Roy Suryo ke Bandara Halim itu, saya kira dia salah lagi. Kali ini salah
ke bandara, seharusnya Bandara Soetta, tetapi nyasar ke Bandara Halim.
Ternyata, tidak.
Jadi, apakah memang benar Roy Suryo adalah seorang pakar? Pakar IT, pakar Telematika, dan pakar soal penerbangan?
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Roy_Suryo
http://sosbud.kompasiana.com/